Hukum Meninggalkan Shalat Jumat Berturut-turut Karena Korona

Oleh: Alvin Haq Shiraty, M.A, Guru Agama SD Islam Al Azhar 38 Bantul
Genap satu bulan, pandemi corona mewabah dan menjadi perbincangan yang tak pernah putus di Indonesia. Berbagai permasalahan muncul akibat dari virus yang menyebabkan COVID-19 ini. Pada mulanya pandemi yang saat ini menjangkau hampir seluruh penjuru dunia berakibat pada permasalahan kesehatan saja. Namun lambat laun ia mengganggu aspek-aspek kehidupan lainnya, termasuk aspek keagamaan, terutama yang berkaitan dengan ritual yang sifatnya berkelompok (berjamaah) seperti shalat jumat. Bagaimana cara menyikapinya?
Telah gamblang dijelaskan oleh para pakar medis bahwa untuk memutus mata rantai persebaran virus ini, kita diimbau untuk melakukan social distancing dan physical distancing. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan shalat jumat yang hanya dianggap sah jika terdiri dari minimal 40 orang jamaah yang mukim (bukan pendatang)?
Untuk menjawab persoalan tersebut, dalam Al Baqarah (185), Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran.”
Untuk konteks persebaran virus corona, Allah Al ‘Alim, Sang Maha Mengetahui yang belum terjadi maupun yang akan terjadi, telah memberikan jalan keluar atas permasalahan ini dengan memberikan rukhshah (keringanan) dalam pelaksanaan ibadah shalat Jumat, yaitu menggantinya dengan shalat Dzuhur di rumah.
Rukhsoh ini pun sejalan dengan hadits Nabi SAW:
لا توردوا الممرض على المصح
Artinya: “janganlah kalian campuradukkan yang sakit dengan yang sehat”.
Pelaksanaan shalat Jumat sangat rentan terjadinya kontak antara yang sehat dan yang sakit. Kekhawatiran terjadinya penularan muncul akibat tidak mudahnya mendeteksi siapa saja di antara jamaah yang menjadi carrier (pembawa virus) dan yang bebas dari virus.
Maka dalam hal ini, penting juga bagi kita untuk mengacu kepada kaidah fikih yang berbunyi
“dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘alaa jalb al-mashaalih” (mencegah kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).
Anjuran social dan physical distancing menjadi perlu untuk dilakukan supaya menghindari terjadinya persebaran yang lebih luas dan membahayakan jiwa. Agama Islam hadir dengan membawa pesan ‘menjaga keselamatan jiwa’ atau hifdz an-nafs, baik bagi penganutnya maupun penganut agama lain. Melaksanakan shalat Jumat tentu sebuah bentuk kebaikan. Namun jika dalam kondisi tertentu di mana dengan berjamaah keselamatan jiwa diri sendiri dan orang lain terancam, maka menundanya dengan menunaikan shalat Dzuhur di rumah adalah pilihan yang bijak.
Kemudian, muncul sebuah pertanyaan yang merujuk pada sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi:
من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه
artinya: “Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi, At-Thabarani, Ad-Daruquthni).
Apakah meninggalkan shalat Jumat selama masa pandemic dianggap tindakan meremehkan? Imam Ar-Ramli melalui kitabnya “Nihayat al-Muhtaj” menjelaskan bahwa kata “karena meremehkan” disini berarti tidak ada uzur atau halangan. Implikasinya, jika meninggalkan shalat Jumat karena meremehkan atau tanpa uzur sama sekali, maka orang tersebut termasuk Mu’minun ‘Aashin, orang mukmin yang durhaka kepada Allah SWT. Karena perbuatannya, Allah SWT akan menutup hatinya dan membuat orang tersebut menjadi anti dengan kebaikan, sukar menerima nasihat, bahkan mungkin ketika mendengarkan adzan saja merasa bising.
Berbeda jika meninggalkan shalat jumat karena adanya sebuah uzur yang menyebabkan seseorang tidak berkewajiban mengikuti shalat jumat yang notabene shalat berjamaah. Lebih lanjut, kitab Minhaj al-Qawim menjelaskan kriteria uzur disini, yaitu karena hujan lebat, salju, kedinginan, sakit berat, serta kekhawatiran atas keselamatan jiwa, kehormatan diri, atau harta benda. Maka, kekhawatiran seseorang terjangkit COVID-19 dianggap sebuah uzur yang dimaklumi dalam pandangan fiqih.
Nabi SAW pun menganjurkan kita untuk melakukan ikhtiar atau usaha pencegahan yang bersifat antisipatif seperti mengisolasi diri. Dahulu, Nabi pernah mengalami hal semacam ini, yaitu ketika mengadakan pembaiatan jarak jauh dikarenakan ada seseorang yang terjangkit kusta (judzam). Lumrahnya, pembaiatan dilakukan dengan cara berjabat tangan langsung dengan beliau, namun Rasulullah menginstruksikan agar orang itu berbaiat melalui jarak jauh. Hal ini dilakukan agar orang tersebut tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnnya. Peristiwa tersebut dapat dikiaskan dengan tidak wajibnya menghadiri shalat jumat saat ada kekhawatiran terjangkit sebuah penyakit.
Maka, pada akhirnya kita sebagai manusia hanya mampu berencana, tapi Sang Mahakuasa lah yang menentukan. Musibah persebaran pandemi corona ini merupakan qudroh dan irodah Allah SWT yang memiliki sifat seperti Al-Dhaarru (Maha Pendatang Bencana). Tentunya begitu banyak i’tibar dan hikmah yang dapat kita ambil bersama. Supaya kembali normal atau fitrah, perlu ada jeda untuk melakukan instrospeksi atau muhasabah. Ikhtiar dan Tawakkal pun harus senantiasa berjalan beriringan.
Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang selamat dari ujian Allah SWT. Silakan ambil dan laksanakan rukhshah-nya dan jangan ambil kesukaran dari-Nya. “Sesungguhnya Allah senang manakala rukhshah-rukhshah–Nya (keringanan) diambil sebagaimana Dia pun senang manakala azimah-azimah-Nya (kewajiban) dilaksanakan”. (At-Thabarani dan Al-Baihaqi). Wallahu a’lam.
Tag:corona, keringanan, shalat jumat