PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH SEBAGAI PONDASI MASA DEPAN

Upaya mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter bangsa tidak pernah terlepas dari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun lembaga pendidikan memegang kunci utama penanaman karakter dan akhlak peserta didik. Hakekat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Model implementasi penguatan pendidikan karakter sekolah, diantaranya : model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri, model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran, model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorientasi pembinaan karakter siswa, dan model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.
Dari berbagai hasil penelitian yang telah penulis himpun, terdapat tujuh bentuk dekadensi moral generasi muda bangsa. Dekadensi tersebut setidaknya menggambarkan begitu rapuhnya karakter diri generasi muda Indonesia. Pertama, penyalahgunaan narkoba. Ada 3,8 hingga 4,2 juta pengguna narkoba di Indonesia dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Dari pengguna narkoba ini 48% di antaranya adalah pecandu dan 52% sekadar cobacoba dan pemakai (BNN, 2012). Kedua, pornografi, 64% pelajar dan mahasiswa belajar seks melalui film porno dan DVD bajakan. Akibatnya 39% responden dari usia 15-19 tahun dan 25% usia 20-25 tahun sudah pernah berhubungan seksual (KPAI, 2016). Ketiga, seks bebas, 800 jenis video porno asli produksi dalam negeri, 90 % dari video tersebut diperankan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa (KPAI, 2016). Keempat, kasus aborsi, hampir 2,4 juta terjadi setiap tahunnya atau (700-800 ribu), dan pelakunya adalah kalangan remaja (Komnas HAM. 2016). Kelima, prostitusi, 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks, setengah dari pekerja seks tersebut berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun (KPAI, 2016). Keenam, tawuran pelajar dan mahasiswa, pada tahun 2012 sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran, bahkan 12 kasus tersebut menyebabkan kematian, dan pada 2011 dari 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (KPA1, 2016). Ketujuh, geng motor, judi taruhan geng motor berkisar 5 sampai 25 juta rupiah per sekali balapan liar, akibatnya sekitar 60 orang meninggal setiap tahunnya (KPAI, 2016).
Ungkapan masyarakat Jawa yang berbunyi “nyunggi duwur, mendhem jero”, saat ini tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bangsa ini telah kehilangan rasa sopan dan santun. Kepribadian adiluhung yang pernah hadir pada bangsa Indonesia telah sirna, tercabik-cabik dengan tuntutan keadilan, HAM dan seperangkat tata demokrasi lainnya. Pada sisi lain, bangsa ini juga pernah mengagungkan ungkapan “ajining dhiri saka lathi lan budi”, bahwa harga diri terletak pada mulut dan budi (Rukmana & Suharto, 1991). Rasa santun yang biasanya ditunjukkan bangsa ini dalam proses interaksi dengan sesama, berubah menjadi perilaku kasar dan anarkis. Sepanjang sejarah selepas orde baru, selalu kita saksikan betapa pemilihan pemimpin daerah banyak yang diwarnai oleh aksi kekerasan, sulit untuk melakukannya dengan cara yang lebih santun. Para pelajar juga turut mengambil peran dengan melakukan tindak kekerasan di sekolah (bullying). Hilangnya budaya santun, juga diikuti dengan hilangnya budaya malu. Maraknya fenomena pornografi dan pornoaksi menjadi bukti betapa masyarakat bangsa ini telah kehilangan rasa malu. Bahkan, anggota DPR sebagai wakil rakyat pun tanpa rasa malu sedikitpun membuka situs porno pada saat sidang anggota dewan berlangsung. Di kalangan pelajar pun budaya malu sudah mulai luntur. Tanpa malu, banyak pelajar meng-upload (mengunggah) ke internet perilaku mereka saat bermesraan dengan pacar mereka, tidak jarang dijumpai adegan yang hanya layak dilakukan oleh suami istri yang sah (yang nota bene berstatus pelajar) di jejaring internet. Pada kalangan artis, banyak adegan sinetron di layar kaca yang mengeksploitasi wilayah aurat yang seharusnya tidak dipertontonkan. Saat mereka disomasi ataupun digugat oleh masyarakat yang mencoba menegakan sisi moral, spontan mereka menjawab bahwa semua itu dilakukan demi tuntutan peran dan seni. Apakah demi untuk sebuah seni harus melepas etika moral yang telah mendarah daging dalam kehidupan kita?
Pendidikan karakter sangat perlu untuk dilaksanakan karena adanya gejala-gejala yang menandakan tergerusnya karakter bangsa pada era globalisasi ini. Kebebasan berkehendak atau free will tanpa aturan baku, iklim berkebebasan, tidak jarang diartikan dengan kebebasan bertindak. Tawuran antar pelajar, antar kampung, main hakim sendiri dan sebagaimana yang berlangsung di berbagai tempat, sekaligus menjauhkan kehidupan masyarakat yang beradab, berkarakter, dan berakhlak mulia. Pada dasarnya konsep pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru dalam konsep pendidikan di Indonesia. Buktinya, para pendiri negeri ini secara nyata telah menuangkan nilai-nilai karakter tersebut sebagaimana terlihat jelas pada seluruh sila-sila Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Megawangi (2004:35), Wolfgang, et.al (2006), dan Rawana, et.al. (2011:76), pendidikan karakter sangat penting untuk pembentukan kepribadian siswa dan diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam membangun manusia Indonesia bertakwa dan siap bersaing di masa mendatang. Menanamkan nilai-nilai karakter terhadap siswa sebagaimana telah dirumuskan dalam Kurikulum 2013 merupakan langkah awal untuk memperbaiki tujuan pendidikan di Indonesia. Begitu juga penanaman pendidikan karakter ternyata mampu mendidik siswa yang unggul dari aspek pengetahuan, cerdas secara emosional, dan kuat dalam kepribadian.
Pada prinsipnya, pola pelaksanaan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter terhadap siswa di sekolah tidak diatur secara baku dan mutlak. Namun, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai karakter tersebut sampai, dipahami, tertanam, dan diharapkan menjadi perilaku permanen dalam setiap diri siswa. Sesungguhnya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah bertujuan untuk menghasilkan siswa yang mampu berperilaku sesuai dengan atauran serta norma agama, social, dan budaya. Lickona (2014:89) menyatakan, “Character education programs have gained increasing interest in the past decade and are designed to produce students who are thoughtful, ethical, morally responsible, community oriented, and selfdisciplined.” Kebaikan perilaku yang dimaksud diwujudkan dalam kepribadian yang bijaksana, beretika, bermoral, bertanggung jawab, yang berorientasi pada masyarakat, dan disiplin diri. Sekolah merupakan salah satu di antara sarana yang cukup efektif untuk melaksanakan, mengembangkan sekaligus mensukseskan agenda pendidikan karakter secara nasional karena dunia sekolah merupakan tempat kedua bagi siswa menghabiskan waktu setelah di rumah tangga. Artinya, pola dan disain pelaksanaan pendidikan karakter yang dilaksanakan sebuah sekolah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter.
Sebagaimana juga dinyatakan oleh Lickona (2006:56) dan Walker, et. al. (2013:84) bahwa karakter terdiri atas nilai-nilai kebajikan yang digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku. Karakter sebagai kepribadian yang terbentuk dari kebajikan digunakan sebagai landasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Sekolah merupakan salah satu di antara sarana yang cukup efektif untuk melaksanakan, mengembangkan sekaligus mensukseskan agenda pendidikan karakter secara nasional karena dunia sekolah merupakan tempat kedua bagi siswa menghabiskan waktu setelah di rumah tangga. Artinya, pola dan disain pelaksanaan pendidikan karakter yang dilaksanakan sebuah sekolah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter. Hasil penelitian Roslind & Elier (2013), dan Saputro & Soeharto (2015) mendapati pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu dirancang secara baik dan didukung oleh pihak sekolah dalam berbagai bentuk kegiatan.
Pentingnya pendidikan karakter bagi siswa merupakan suatu keperluan yang tidak terbantahkan lagi. Tidak ada aturan baku dan mutlak bagaimana cara melaksanakan pendidikan karakter. Namun, sekolah dituntut mendesain secara baik dan sungguh-sungguh dengan berbagai pola sehingga nilai-nilai karakter tersebut dapat menjadi perilaku permanen bagi siswa di kemudian hari. Berbagai pola pelaksanaan pendidikan karakter terhadap siswa di sekolah dapat dicoba sesuai dengan corak dan karakteristik sekolah dan siswanya masing-masing. Namun demikian, tujuan pendidikan karakter tetap sama, yakni mengantarkan siswa mempunyai kepribadian dan nilai-nilai karakter mulia, seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (kesuma,2012:32; Amri, 2012:54; Mulyasa, 2012:35; Daryanti, 2013:43; dan Anggraini, et. al. 2016:76). Pendidikan karakter juga diharapkan dapat mengatasi krisis yang terjadi dalam karakter masyarakat global dan mengembangkan potensi manusia secara optimal serta mengembangkan pola pikir dan perilaku siswa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan peran agama, sosial, masyarakat, dan sebagai warga negara.