Upgrading: Menjadi Lebih dari Sekadar Guru

Senin (9/12) SD Islam Al Azhar 38 Bantul mengundang pakar pendidikan dan pendiri sanggar alam anak, Ibu Sri Wahyaningsih. Kehadiran Ibu Wahya, sapaan akrab Sri Wahyaningsih, adalah untuk memberi materi seputar peran guru sebagai fasilitator pendidikan.
Acara yang dikemas dalam bentuk Upgrading guru dan karyawan tersebut fokus pada bagaimana meningkatkan peran guru dalam memfasilitasi murid menjadi generasi yang memiliki 3 kecerdasan: intelektual, sosial, dan spiritual. Selain guru dan karyawan, acara juga dihadiri oleh pengurus Jam’iyyah (Komite Sekolah).
“Kita ingin mendapat perspektif baru dalam mendidik anak. Selama ini kita terbiasa mengajar murid dalam gedung dan dalam bingkai kurikulum yang textbook. Kita ingin coba mencari masukan dari sosok yang terbiasa mengajar tanpa batasan tersebut”, ujar Alvin Haq, penggagas acara.
Sosok Bu Wahya memang tidak asing di kalangan guru dan pendidik. Kiprahnya sebagai penggagas Sanggar Anak Alam (SALAM) sebagai sekolah tanpa kurikulum, tanpa mata pelajaran, tanpa seragam, dan tanpa “guru” telah membuatnya menyabet sejumlah penghargaan.
Dalam kesempatan upgrading ini, Bu Wahya berbagi best practice dari pengalaman dalam mengelola Sanggar Anak Alam. Selain itu juga memberi masukan agar memaksimalkan potensi anak dengan menjadikan anak sebagai subyek dalam pendidikan.
“Kita tidak ingin terjebak dalam rutinitas kurikulum yang silih berganti itu. Kita punya kurikulum sendiri di mana anak sebagai subyek dan mahaguru bagi dirinya hingga dia mendapat pengetahuannya sendiri. Kita sebagai guru berfungsi sebagai pamong atau fasilitator”, ujarnya
Tahapan Perkembangan Anak
Bu Wahya juga mengemukakan kembali teori tahapan pendidikan dari Ki Hajar Dewantara sebagai dasar dalam menyelenggarakan pendidikan. Seperti diketahui bahwa Ki Hajar membagi tumbuh kembang anak menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu: wirogo, wirogo-wiromo, dan wiromo.
Wirogo adalah windu pertama bagi anak (1-8 tahun). Di masa itu anak-anak menonjol aspek kinestetis atau fisik. Sebab itu kita jumpai mereka berlarian, memanjat, bermain-main, dan sebagainya. “Untuk anak SD usia 6-8 tahun berarti jangan sampai salah dalam menangani anak. Desainlah pendidikan sesuai tahapan tersebut. Jika dilarang untuk bergerak, berkotor-kotor, maka anak kehilangan sisi wirogo-nya”, ujarnya.

Sedangkan windu berikutnya (9-16 tahun) adalah masa wirogo-wiromo, di mana anak-anak mulai menyeimbangkan aspek fisik dan berpikirnya. Sebab itu konsep-konsep pengetahuan dapat diberikan kepada anak dengan lebih fokus dan terarah. Meski begitu, anak-anak usia tersebut masih perlu media konkret untuk menunjang pembelajarannya.
Windu terakhir (17-24) adalah mayoritas wiromo di mana saat usia remaja hingga mahasiswa, anak mulai kritis dan menemukan sendiri jati dirinya. Peran fasilitator kian mengecil di windu terakhir ini. Panelis mengajak hadirin untuk mendesain pendidikan yang sesuai dengan tahapan perkembangan tersebut.
Best Practice Salam
Peserta antusias dengan pengelolaan Sanggar Alam Anak (Salam) yang dikelola oleh panelis. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan mengenai teknis pegelolaan sanggar. Saat peserta diskusi bertanya hal teknis mengenai ketiadaan seragam di sanggar yang ia kelola, Bu Wahya menjawab, “Ketiadaan seragam itu bukan waton suloyo. Namun menggiring kita agar punya pola pikir bahwa berbeda itu indah”.

Pertanyaan lain adalah seputar bagaimana cara merekrut murid. Panelis menjawab bahwa selama ini belum pernah lakukan promosi selain apa yang disebut dengan gethok-tular. Meski begitu Sanggar juga cukup selektif. Sanggar lakukan tes untuk calon orang tua, bukan calon murid. Hal itu untuk mengetahui sejauh mana komitmen orang tua terhadap pola pendidikan di Salam.
Hal yang bisa ditularkan kepada sekolah formal seperti SD Islam Al Azhar 38 Bantul adalah mengenai pembelajaran dengan media konkret. Kurikulum dari negara hanya diambil Kompetensi Dasar dan indikatornya saja. Adapun proses pembelajaran adalah murni kreatifitas guru.
Sementara panelis lain, Ubaidilah, menambahkan bahwa Guru jangan sampai berhenti menjadi diktator. Hanya mendikte ilmu dan mengajak murid menirunya. Guru mestinya lebih berfungsi untuk menjadi fasilitator bukan diktator. Peran fasilitator juga tidak stagnan.
“Semakian bertambahnya usia anak, intervensi fasilitator harus semakin berkurang”, ujarnya.
Peran Orang Tua
Hal lain yang disampaikan adalah mengenai konsep Tri Pusat Pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang antara sekolah, orang tua, dan masyarakat berada dalam satu visi yang sama. Sebab itu, sanggar atau sekolah perlu mendapat komitmen yang jelas dari orang tua mengenai pola pendidikan yang diselenggarakan.
“Misalnya dalam tanggung jawab sampah. Sekolah tidak menyediakan tempat sampah, sebab sampah adalah tanggungjawab masing-masing anak bukan sekolah. Entah mau dibawa pulang, diolah kembali, atau bagaimana tergantung tanggungjawab anak. Hal seperti ini perlu mendapat dukungan dari orang tua”
Dalam paparannya, panelis juga menyampaikan bahwa kegiatan pengelolaan sekolah adalah pekerjaan bersama orang tua dan masyarakat. Setiap periode tertentu ada home visit di mana anak-anak berkunjung ke rumah orang tua dan belajar di situ. Orang tua pula yang mendesain mural dan pernak-pernik sekolah.
Sedangkan pemberdayaan masyarakat bisa berwujud dalam penyediaan media pembelajaran konkret. Kolam ikan, sawah, peternakan, toko, dan sebagainya; adalah tempat belajar juga. Hal yang mungkin tidak semua sekolah memiliki sehingga perlu melibatkan masyarakat.
Goal(s) Pendidikan
Secara detail para panelis mengajak peserta upgrading untuk merenungi tujuan akhir dari pendidikan anak. Pendidikan anak yang baik adalah yang mampu memfasilitasi murid untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Pemilik pengetahuan adalah Tuhan. Guru adalah perantara turunnya pengetahuan tersebut.
Di akhir diskusi, para panelis mengajak peserta diskusi untuk menjadi fasilitator yang baik bagi anak-anak. Memperlakukan anak bukan sebagai obyek tetapi memfasilitasi mereka untuk menjadi maha guru bagi dirinya sendiri. Tolok ukur keberhasilan fasilitator adalah sejauh mana ia mampu mengantarkan anak mengungkap pengetahuan dengan mandiri. Ada semboyan terkenal yang bisa dipegang oleh penyelenggara pendidikan manapun,
“Mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham, menemukan sendiri saya kuasai”.
Tag:diskusi, Salam, Sri Wahyaningsih, upgrading